Sabtu, 11 Februari 2012

MENGGAGAS KURIKULUM PENJAS MASA DEPAN
Oleh:
Agus Mahendra 
Latar Belakang Masalah 
Rendahnya mutu kebugaran jasmani siswa sekolah dari seluruh jenjang di Indonesia dapat dijadikan satu petunjuk umum bahwa mutu program pendidikan jasmani di Indonesia masih sangatlah rendah. Dari survey yang dilakukan oleh Pusat Kesegaran jasmani Depdiknas terdahulu, diperoleh informasi bahwa hasil pembelajaran Penjas di sekolah secara umum hanya mampu memberikan efek kebugaran jasmani terhadap kurang lebih 15 persen dari keseluruhan populasi siswa. Sedangkan dalam penelusuran sederhana lewat test Sport Search dalam aspek yang berkaitan dengan kebugaran jasmani siswa SMU, siswa Indonesia rata-rata hanya mencapai kategori "Rendah" (Ditjora, 2002). Rendahnya mutu hasil pembelajaran pendidikan jasmani pun dapat disimpulkan dari keluhan masyarakat olahraga yang mengindikasikan bahwa mutu bibit olahragawan usia dini dari sekolah-sekolah kita sangat rendah. Keluhan ini dapat dikaitkan dengan dua hal. Pertama, para calon atlet kita rata-rata mengandung kelemahan dalam hal kemampuan motoriknya, dari mulai kecepatan, kelincahan, koordinasi, keseimbangan, dan kesadaran ruangnya; kedua, para calon atlet kita pun sekaligus memiliki kekurangan dalam hal kemampuan fisik (kebugaran jasmani), terutama dalam hal daya tahan umum, kekuatan, kelentukan, power, dan daya tahan otot lokal. Belum lagi jika ukuran kinerja atau efektivitas PBM Penjas tersebut dinilai dari aspek lain yang seharusnya terintegrasi dalam Penjas. Ambil misal kualitas proses yang seharusnya dapat terlihat dari Penjas yang baik, seperti bagaimana guru menerapkan model pengembangan disiplin, pengajaran yang bernuansa DAP, kesadaran guru dalam mengembangkan bukan hanya aspek fisik dan motorik, tetapi aspek kognitif dan mental sosial serta moral anak, yang dipercayai oleh para ahli dapat mengembangkan nilai-nilai dan karakter positif pada diri anak
Tentu menjadi pertanyaan, mengapa mutu hasil pembelajaran penjas di Indonesia bisa sedemikian rendah. Apakah karena faktor guru yang juga kualitasnya rendah, ataukah disebabkan faktor lain seperti sarana dan prasarana yang tidak memadai? Ataukah semua kelemahan ini harus dialamatkan pada kurikulum yang tidak
relevan, serta kurangnya dukungan dari pemerintah dan masyarakat dalam hal pentingnya pendidikan jasmani?
Menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas tentu tidaklah mudah. Diperlukan penelusuran cermat yang melibatkan berbagai alat telaah multidisipliner, baik yang melibatkan tinjauan dari aspek filosofis, sosiologis, psikologis, budaya, ekonomi serta politik. Namun dalam wilayah praksis, kita dapat mendekati permasalahan ini dalam hubungannya dengan kemampuan guru dan kurikulum yang diberlakukan dalam program Penjas di Indonesia. Kemampuan guru harus ditelusuri dari segi nilai acuan (value orientation) (Jewet and Bain, 1995) mereka terhadap program yang menjadi tanggung jawabnya selama ini, sedangkan masalah kurikulum dapat dikaji dalam kaitannya dengan kemampuan sebuah kurikulum sebagai sebuah dokumen dalam memberikan keleluasaan kepada guru untuk melakukan interpretasi dalam hal pelaksanaannya.
Jika kita berkaca pada perspektif sejarah, maka dapat dimaklumi bahwa kualitas penjas di Indonesia dapat mewujud dalam bentuknya yang sekarang. Menginterpretasikan konteks sejarah perkembangan penjas dan olahraga nasional kita, dapat diduga bahwa telah terjadi perubahan paradigma Penjas di masa lalu, yang terjadi pada tahun 60-an. Kala itu, para founding fathers bangsa kita mencoba memanfaatkan olahraga sebagai alat strategis dan sekaligus politis untuk keluar dari rasa rendah diri kolektif sebagai bangsa yang baru merdeka setelah sekian abad terjajah dan terbodohkan secara sistematis. Keyakinan yang berkembang adalah bahwa olahraga dapat menjadi bukti bahwa bangsa kita memiliki potensi dan kemampuan yang sama dengan bangsa lain, yang ditunjukkan melalui bisa berkiprahnya bangsa Indonesia dalam berbagai event olahraga regional dan internasional.
Dengan kepercayaan tersebut, tidak pelak, penjas di sekolah-sekolah pun diubah paradigmanya, bukan lagi sebagai alat pendidikan, melainkan dipertajam menjadi alat untuk membantu gerakan olahraga sebagai penegak postur bangsa, agar lebih banyak lagi bibit-bibit atlet yang bisa dipersiapkan. Akibatnya, seperti yang dapat kita saksikan sekarang, Penjas kita lebih bernuansa pelatihan olahraga daripada sebagai proses sosialisasi dan mendidik anak melalui olahraga. Demikian kuatnya paradigma pelatihan olahraga dalam Penjas kita, sehingga dewasa ini paradigma tersebut masih kuat digenggam oleh para guru Penjas. Dalam kondisi demikian, pembelajaran sering berubah menjadi aktivitas yang dalam kategori Sue Bredekamp (1993) merupakan program yang Undevelopmentally Appropriate Practice (UAP),
padahal yang seharusnya berlangsung adalah program yang Developmentally Appropriate Practice (DAP).
Dengan paradigma yang salah tersebut, program olahraga dalam pelajaran pendidikan jasmani lebih menekankan pada harapan agar program tersebut berakhir pada terpetiknya manfaat pembibitan usia dini. Alasannya cukup jelas, karena landasan untuk mencetak atlet unggul di kompetisi tingkat internasional merupakan satu-satunya alur pikir yang sejalan dengan semangat revolusi besar Bung Karno. Pendeknya, penggunaan olahraga di sekolah bukanlah dipandang sebagai alat pedagogis, melainkan lebih dihargai sebagai alat sosialisasi olahraga kepada siswa.
Sebagai konsekuensinya, ruang lingkup pendidikan jasmani menjadi menyempit; seolah-olah terbatas pada program memperkenalkan anak pada cabang-cabang olahraga formal, seperti olahraga permainan, senam, atletik, renang, serta beladiri. Akibat lanjutannya, aktivitas jasmani yang tidak termasuk ke dalam kelompok olahraga (sport) mulai menghilang, seperti tarian, gerak-gerak dasar fundamental, serta berbagai permainan sederhana yang sering dikelompokkan sebagai low-organized games.
Dalam lingkup mikro pembelajaran, terjadi juga pergeseran cara dan gaya mengajar guru, yaitu dari cara dan model pengasuhan serta pengembangan nilai-nilai yang diperlukan sebagai penanaman rasa cinta gerak dalam ajang sosialisasi, berubah menjadi pola penggemblengan fisik dan menjadikan anak terampil berolahraga. Umumnya, guru lebih berkonsentrasi pada pengajaran teknik dasar dari cabang olahraga yang diajarkan (pendekatan teknis), sambil melupakan pentingnya mengangkat suasana bermain yang bisa menarik minat mayoritas anak (Light, 2004). Wajar jika guru melupakan premis dasar penjas bahwa penjas adalah untuk semua anak (Dauer and Pangrazy, 12th Ed. 2003), sehingga tidak benar-benar dilandaskan pada prinsip pemberian tugas yang disesuaikan dengan kemampuan anak atau DAP.
Hal lain yang juga turut terimbas oleh paradigma tadi adalah menghilangnya suasana pedagogis dalam pembelajaran Penjas. Penjas yang seharusnya menjadi wahana yang strategis untuk mengembangkan self esteem anak, pada gilirannya justru berubah menjadi „ladang pembantaian‟ kepercayaan diri anak. Banyak bukti yang mendukung alur pemikiran demikian, terutama ketika hakikat tentang bagaimana anak belajar dalam psikologi belajar modern sudah semakin diyakini kebenarannya.
Ketika guru menggeser pola pembelajaran menjadi pola pelatihan, maka tugas gerak dan ukuran-ukuran keberhasilannya pun bergeser menjadi keterampilan dengan kriteria yang formal, kaku, dan tidak disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan
anak. Dalam kondisi tersebut, guru hanya menetapkan satu kriteria keberhasilan, yaitu ketika gerakan yang dilakukan anak sesuai dengan kaidah-kaidah teknik dasar yang sudah dibakukan. Hanya sedikit anak yang biasanya mampu menguasai keterampilan dengan kriteria tersebut, sehingga anak yang lain masuk ke dalam kelompok yang gagal. Akibatnya, dalam banyak proses pembelajaran, anak akan lebih banyak merasakan pengalaman gagal daripada pengalaman berhasil (feeling of success).
Secara tidak disadari, profil guru Penjas pun berubah dari yang semula santun dan bersifat mengasuh, bergeser menjadi profil keras dan angker serta menyepelekan kepribadian anak (Mahendra, 2006). Banyak guru yang percaya bahwa pembelajaran olahraga harus berlangsung dalam suasana keras, bahkan cenderung kasar, karena diyakini termasuk upaya mendidik karakter yang kuat dan teguh. Celakanya, muncul pula kecenderungan guru dalam memberi atribut atau julukan yang negatif pada anak dikaitkan dengan kelemahan anak dalam hal gerak atau dengan kondisi fisik anak itu sendiri. Tidak jarang, misalnya, guru menyebut anak dengan panggilan yang kurang pantas atau sebutan lain yang jauh dari „membangkitkan‟ self esteem.

Pengertian Kurikulum dan Pemasalahannya

Kurikulum sering didefinisikan secara berbeda, tergantung luas dan sempitnya sudut pandang yang digunakan para pemakainya. Secara luas, oleh Jewet et al.,(1995) kurikulum diartikan sebagai keseluruhan pengalaman siswa yang ditemui di lingkungan persekolahan, dari mulai yang berlangsung formal di dalam kelas, hingga kegiatan ekstra di lapangan olahraga. Sedangkan secara khusus, kurikulum diartikan sebagai suatu rangkaian yang terencana dari pengalaman-pengalaman pengajaran formal yang disajikan oleh guru di dalam kelas. Masih sejalan dengan Jewet et al., Macdonald (2000) mendefinisikan kurikulum sebagai suatu lingkungan budaya yang dipilih secara bertujuan. Artinya, kurikulum adalah sebuah studi tentang "apa yang harus ada dalam dunia belajar dan bagaimana caranya membuat dunia itu."
Para ahli juga berbeda pendapat dalam hal penggunaan istilah kurikulum ketika ia berhubungan dengan istilah pengajaran (instruction). Kurikulum lebih sering digunakan sebagai sebuah istilah umum yang luas, termasuk di dalamnya pengajaran. Jika perbedaan di antara kedua istilah itu ditarik secara tegas, kurikulum diartikan sebagai suatu rencana dari agensi kependidikan yang memfasilitasi terjadinya pembelajaran; sedangkan pengajaran diartikan sebagai suatu sistem penyampaian,
atau kumpulan dari sejumlah transaksi kependidikan, yang didalamnya memuat proses pengajaran-pembelajaran untuk melaksanakan rencana tersebut.
Masalahnya, ketika secara teoritis keduanya dapat didiskusikan secara terbuka, dalam praktik keduanya bersifat interaktif dan tidak mudah dipisah-pisahkan. Artinya, amat mudah menyusun kurikulum sebagai sebuah rencana yang tersusun sebagai sebuah dokumen, tetapi manakala keseluruhan rencana itu diimplementasikan, maka kurikulum tadi melumat menjadi segala perilaku guru dan siswa yang saling berkaitan satu sama lain, sehingga bukan hanya dokumen kurikulum yang harus “baik”, tetapi termasuk ditentukan oleh kompetensi guru dan lingkungan di mana kurikulum tersebut diimplementasikan.
Pertanyaan yang harus diajukan adalah, ketika mutu pembelajaran Penjas di Indonesia disinyalir masih amat rendah, benarkah yang harus dipersalahkan dan serta-merta segera diganti adalah kurikulum?
Jika yang dimaksud dengan perubahan kurikulum adalah juga perubahan dalam bagaimana guru menetapkan paradigma pembelajarannya termasuk lingkungan di mana pembelajaran berlangsung, maka tentu saja Indonesia perlu merumuskan kurikulum barunya sesegera mungkin, agar secara sistematis program penjas di Indonesia dapat direvitalisasi secara utuh.

Menengok Kurikulum Penjas Nasional
Pada tingkatan kurikulum, kelemahan program pendidikan jasmani masih berkutat di seputar struktur kurikulum nasional yang masih diwarnai oleh kesalahan orientasi dalam berbagai aspeknya. Pada tingkat ini, masalah yang dapat diidentifikasi adalah masih sangat sentralistisnya tujuan kurikuler dan tujuan instruksional (Kurikulum 1994), dan terlalu mendetil serta tendensiusnya standard kompetensi serta kompetensi dasar yang ditetapkan (Kurikulum 2004-2006), sehingga oleh beberapa pihak dianggap sangat membelenggu guru. Saking tendensiusnya, bahkan perumus kurikulumnya sendiripun nampaknya menjadi bingung sendiri manakala harus memberi perbedaan di antara materi untuk kelas dan jenjang yang berbeda.
Lebih lanjut, kelemahan pun masih terasa dalam hal orientasi kurikulum yang sangat menekankan pencapaian atau penguasaan keterampilan-keterampilan formal dari berbagai cabang olahraga (oleh beberapa ahli disebut serba-perilaku). Key Learning Areas dalam Penjas hanya memasukkan wilayah-wilayah keterampilan gerak didasarkan pada pengelompokkan kecabangan plus aktivitas ritmik dan aktivitas luar
kelas. Kecenderungan demikian benar-benar didasarkan pada orientasi kurikulum tunggal, tanpa memperhitungkan orientasi dan bahkan nilai acuan yang berlaku dalam Penjas. Tidak diragukan, semua ini mencerminkan kurangnya pemahaman secara komprehensif terhadap arti dan peranan pendidikan jasmani dalam tataran asas dan falsafahnya.
Pada tahap berikutnya, kurikulum kita pun masih belum berhasil memberi arah pada guru tentang kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional apa yang harus dikuasai guru. Terasa sekali, bahwa guru penjas, terutama di tingkat sekolah dasar, umumnya tidak menguasai berbagai kompetensi seperti metode mengajar, gaya mengajar, keterampilan meningkatkan kualitas PBM, serta tak kalah pentingnya dalam hal evaluasi. Di samping itu, sepertinya para guru pun tidak mengetahui secara pasti wilayah tugas dari mata pelajaran pendidikan jasmani dalam jenjang sekolah di mana ia bertugas. Mereka umumnya tidak mampu merumuskan, ke arah manakah program penjas yang mereka berikan pada anak akan mereka tujukan.
Ancaman mala-praktek program pendidikan jasmani di sekolah nampaknya semakin potensial dalam masa-masa pengimplementasian kurikulum Penjas 2004, yang konon juga disebut sebagai Kurikulum Berbasis Kompetensi. Mayoritas guru Penjas hingga kini masih belum mengetahui secara komprehensif tentang pengertian dan implementasi KBK dalam prakteknya. Mereka pun dapat dipastikan belum mengetahui secara jelas makna wilayah pembelajaran (Key Learning Area/KLA) dalam kurikulum 2004, yang dikelompokan menjadi enam (6) kelompok aktivitas, yaitu Aktivitas Permainan dan Olahraga, Aktivitas Pengembangan, Aktivitas Uji Diri, Aktivitas Ritmik, Aktivitas Akuatik, dan Aktivitas Luar Kelas.
Demikian juga kasusnya dengan Kurikulum 2006 atau yang lebih dikenal sebagai Standard Isi. Di samping hanya memasukkan materi kesehatan ke dalam ruang lingkupnya, standar isi inipun tak ubahnya sebagai kurikulum imitasi dari KBK. Tidak ada pembaharuan apapun di dalamnya, di samping lebih memperlebar kemungkinan kebingungan di antara guru-guru.

Menetapkan Skenario Untuk Kurikulum Penjas Masa Depan

Kurikulum yang bagaimanakah yang ingin dihasilkan di masa depan? Atau, tepatnya, kurikulum Penjas yang bagaimanakah yang harus dipersiapkan untuk anak-anak kita di masa depan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita berandai-andai tentang peranan apa yang harus dimainkan Penjas sebagai mata
pelajaran, dengan membuat sebuah skenario tentang bentuk masyarakat dunia dan Indonesia di masa mendatang. Skenario tersebut diperlukan untuk mencoba-coba merumuskan Kurikulum Penjas secara umum untuk memecahkan persoalan yang akan dihadapi di masa depan.

a. Dunia yang penuh konflik
Awal abad 21 telah menjadi saksi bagi bangkitnya tuntutan sistem ekonomi dan politik yang bersifat global. Akibat kemajuan teknologi dalam bidang komunikasi dan kepariwisataan, individu dan korporasi di seluruh dunia mulai berinteraksi melampaui batas wilayah nasional dan benua. Perusahaan Multinasional menempatkan komponen-komponen bisnisnya di seluruh dunia untuk mengejar keuntungan dengan memanfaatkan sumber daya alam setempat yang melimpah, SDM bergaji rendah, kedekatan pada pasar, serta manfaat hukum dan regulasi yang mendukung langkah bisnisnya.
Sementara beberapa wilayah geografis mengalami kemakmuran, beberapa wilayah negara lain dilanda ekspansi tenaga kerja kurang terdidik serta banyaknya pengangguran yang menciptakan lingkaran pekerjaan bergaji rendah. Frustrasi dan kekecewaan dari kelompok ini niscaya akan menimbulkan rentetan konflik dan masalah sosial yang tidak sedikit. Beberapa dari mereka bermigrasi ke negara lain untuk mencari pekerjaan, yang sering menyebabkan kecurigaan dan kadang kebencian penduduk setempat yang khawatir tergantikan posisinya oleh para pendatang yang bersedia dibayar murah. Kebencian semacam ini merupakan dasar terbentuknya konflik antar etnik dan ras sebagai sebuah krisis.
Dalam menjawab krisis tersebut, koalisi politik dan para pemimpin pendidikan di seluruh dunia mengembangkan rencana yang disebut Pendidikan Untuk Perdamaian. Tujuan program tersebut adalah untuk mengurangi kekerasan di dalam dan di antara bangsa-bangsa serta sekaligus meningkatkan kualitas hidup untuk semua. Kurikulum dirancang untuk mencapai tujuan di atas dengan memberdayakan anak didik untuk bekerja secara kooperatif dengan yang lain, dengan memperhitungkan isu-isu personal, sosial, politis, dan ekonomi. Dengan cara demikian, diharapkan setiap individu mampu berdiri sejajar dalam bidang pengetahuan, penguasaan bahasa dan teknologi, serta terutama dalam kesiapan mental-emosional, moral, serta nilai-nilai universal kemanusiaan.
Komponen pemberdayaan personal dari kurikulum didasari asumsi yang kokoh tentang keterpaduan pikiran-tubuh-jiwa (mind-body-spirit). Tujuannya adalah agar terjadi pengembangan kesadaran diri, penerimaan diri, kompetensi, kesehatan, serta berbagai keterampilan yang berguna dalam kehidupan nyata. Komponen sosio-kultural mengasumsikan bahwa dalam masyarakat global semua siswa perlu menguasai pemahaman umum tentang budaya dunia dan pengetahuan yang mendalam tentang salah satu budaya di luar budayanya sendiri. Komponen pemberdayaan sosio-politik dirancang agar memungkinkan siswa mengakui dan dapat menganalisis daya-daya sosial dan politik yang mempengaruhi mereka dalam bertindak secara individual dan kolektif memperbaiki kualitas hidup mereka. Komponen pemberdayaan ekonomi menyediakan pendidikan karir dan re-training sebagai sesuatu yang penting dalam kehidupan. Program tersebut juga mengajarkan siswa untuk berpartisipasi dalam keputusan-keputusan yang mempengaruhi kondisi ekonomi dari lingkungannya.
Karena para pimpinan dunia mengakui pengaruh budaya dari olahraga dan dansa serta peranan utama dari kesehatan dalam kualitas hidup warga dunia, pendidikan jasmani menjadi bagian integral dari kurikulum Pendidikan Untuk Perdamaian tersebut. Anak-anak usia dini berpartisipasi dalam program pra-sekolah yang memberi kesempatan untuk bereksplorasi dan bertumbuh, termasuk mengembangkan keterampilan gerak. Anak-anak usia sekolah diberi program “pendidikan gerak perkembangan” yang memberi penekanan pada penerimaan diri dan kemajuan individual dalam pengembangan keterampilan gerak. Meskipun keterampilan tersebut berhubungan dengan berbagai jenis permainan, dansa, dan senam, tetapi penekanan program itu terletak pada penguasaan keterampilan gerak dasar dan konsep, tidak pada kompetisi dan kemenangan.
Kurikulum Penjas juga memungkinkan anak menguji peranan gerak dalam masyarakat. Mereka belajar permainan, olahraga, dan dansa dari berbagai budaya serta mendiskusikan bagaimana aktivitas tersebut berhubungan dengan konteks historis dan pada aspek budaya lainnya. Anak-anak diminta meneliti pengaruh perkembangan teknologi dan waktu luang dalam abad 21 dikaitkan dengan peranan olahraga (Jewet, et. al; 1995). Mereka mengungkap dan mendiskusikan perbedaan-perbedaan antara pengalaman langsung dari aktivitas gerak dengan pengalaman yang hanya teralami melalui menonton video atau komputer. Anak-anak diminta menyelidiki konflik dalam situasi olahraga dan mempraktekkan proses negosiasi serta strategi pencarian resolusi
masalahnya. Mereka juga mendiskusikan konsep komunitas dan hubungannya dengan berbagai bentuk olahraga dan dansa.
Siswa yang lebih dewasa mempelajari meditasi, yoga, dan tai chi sebagai cara untuk meningkatkan kesadaran diri yang utuh. Siswa juga berpartisipasi dalam program kebugaran yang dibangun berdasarkan prinsip “belajar menerima dan mempercayai tubuh sendiri”. Daripada bersifat pelatihan formal yang dituntut memenuhi standard eksternal performansi, siswa belajar “mendengar pada tanda-tanda tubuh” sebagai petunjuk kapan dan seberapa kebutuhan untuk makan, latihan, dan istirahat harus dipenuhi. Program ini dilengkapi dengan diskusi tentang bagaimana masyarakat membangun definisi kesehatan dan daya tarik tubuh dan bagaimana individu dapat menciptakan definisi yang sesuai secara pribadi.

b. Alam yang kian tidak bersahabat
Kita semua, belakangan ini, menjadi saksi bersama, betapa alam lingkungan di tanah air semakin tidak bersahabat. Berbagai bencana alam, yang berkombinasi dengan bencana sarana transportasi yang semakin meningkat, adalah bukti nyata bahwa alam kita semakin rentan dan berpotensi selalu menjadi ancaman bagi mayoritas penduduk Indonesia. Dari bencana tsunami, gempa, longsor, hingga banjir, semua menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup bangsa kita, baik kini maupun di masa-masa mendatang.
Pengungkapan mutakhir tentang kondisi dan posisi tata letak geografis wilayah Indonesia dari segi lempeng bumi secara umum, telah dinyatakan bahwa hampir seluruh wilayah Indonesia merupakan daerah berpotensi gempa (Isworo, 2006). Bahkan dengan kemajuan teknologi yang diperkirakan akan dicapai oleh bangsa kita dan bangsa lain sekalipun, bangsa Indonesia tetap berada dalam bahaya laten bencana gempa, karena Indonesia berada di lingkaran “Cincin Api” (Ring of Fire) dari Sabang sampai Merauke (Leksono, 2007).
Dalam kondisi ancaman alam yang terus menerus tersebut, peranan apakah yang dapat dimainkan oleh Penjas dalam konteks masa depan? Kurikulum yang bagaimana yang harus dipersiapkan untuk mengurangi bahaya bencana alam tersebut agar dapat menyelamatkan anak-cucu dan keturunan kita? Jawabannya adalah Kultur Gerak yang hanya bisa dibangkitkan melalui pembelajaran Penjas yang baik.
Kultur gerak adalah istilah yang digunakan di Eropah untuk menyebut kecenderungan dan kebiasaan bergerak untuk memenuhi undangan dari lingkungan
atau alam, atau kondisi yang tertangkap oleh seorang individu. Kultur gerak dengan demikian lebih luas maknanya dari olahraga, yang lebih sering diartikan sebagai aktivitas fisik yang dibatasi oleh kaidah-kaidah gerak tertentu.
Istilah kultur gerak disinggung oleh Crum (2003), yang menghubungkan fungsi dan kedudukan pelajaran pendidikan jasmani dalam penumbuhan kultur gerak ini. Mengutip pandangan J.J. Gibson (pendiri psikologi ekologis), Crum menekankan pentingnya pandangan fenomenologis yang memandang penting kedudukan dan peranan lingkungan dalam mengarahkan gerak manusia. Gibson sendiri mengetengahkan istilah affordances dalam menjelaskan fenomena gerak manusia. Dan menurut Crum, pendidikan jasmani dalam era mutakhir sekarang ini, diarahkan untuk meningkatkan kebisaan dan kemampuan (affordances) tadi dalam menanggapi undangan alam untuk bergerak. Maksudnya adalah, persepsi manusia terhadap alam lingkungan menghasilkan keputusan tentang maksud dan tujuan gerak dilaksanakan. Dengan kata lain, lingkungan secara langsung mengarahkan bentuk dan maksud gerak yang dilakukan seseorang (Lutan, 2005).
Bertolak dari pandangan tersebut, maka kompetensi gerak yang akan dibekalkan kepada anak-anak dalam pendidikan jasmani tidak semata-mata untuk mempersiapkan anak agar berkompeten dalam berolahraga saja, melainkan bermakna lebih luas sehingga mencakup ragam pengalaman gerak yang bermakna untuk menyesesuaikan diri dengan kondisi lingkungan dan situasi sosial yang selalu berubah.
Agar anak-anak memiliki kemampuan untuk selalu merespons dan „berdialog‟ dengan tepat dengan alam lingkungan, maka materi utama pendidikan jasmani pun harus selalu menyediakan tantangan dan permasalahan (problems) gerak untuk dipecahkan. Tantangan atau masalah tersebut dalam batas-batas tertentu dapat dibedakan ke dalam empat wilayah, yaitu wilayah technomotor problems, sociomotor problems, cognitive-reflective problems, dan affective problems (Crum, 2006). Dengan pembiasaan tersebut, diharapkan anak akan mengadopsi kemampuan (affordances) untuk selalu siap menerima tantangan dan permasalahan gerak yang selalu disediakan lingkungan untuk secara aktif direspons dengan efektif.
Pada bentuknya, tantangan dan permasalahan gerak (movement problems) tersebut dapat disediakan guru dalam bentuk-bentuk tugas gerak yang selalu memperhitungkan keterlibatan faktor kognitif, afektif, sosial, serta teknik-teknik atau keterampilan untuk dipecahkan oleh anak. Tugas-tugas gerak tersebut, menurut Crum, tidak lagi berupa tugas gerak baku atau standar dari cabang-cabang olahraga formal,
melainkan dapat berupa gerak modifikasi, yang menyajikan tantangan baru kepada anak untuk dipecahkan (Movement Problem Based Learning).
Di negara-negara maju, tantangan-tantangan tersebut hadir ke hadapan siswa dalam bentuk pendekatan-pendekatan baru, seperti pendekatan taktis (di Inggris disebut TGFU/Teaching Games For Understanding, di Australia disebut Games Sense) dalam permainan (Light, 2000), Pendekatan Masalah Gerak Dominan (Dominant Movement Problem) dalam senam atau atletik. Pendekatan-pendekatan ini, jika dilaksanakan dengan baik oleh guru, akan merupakan sebuah wahana yang memaksa anak mengerahkan kemampuan problem solvingnya, serta membina anak untuk menjadi pengambil keputusan yang cermat, karena terbiasa untuk selalu memperhitungkan kondisi-kondisi lingkungan dalam semua tindakannya.
Dengan kata lain, pada dasarnya Penjas yang baik, akan menjadi program dan pendidikan mitigasi yang paling mendasar, yang ditumbuhkan langsung pada diri anak-anak, karena akan merupakan bekal kompetensi yang paling bermakna dalam proses survival mereka.

c. Pentingnya Disiplin dan Ketertiban Masyarakat
Di masa depan, ketika sistem transportasi dan tata kota di Indonesia semakin baik dan canggih, diperlukan budaya tertib dan disiplin dari masyarakat. Coba tengok perilaku berlalu lintas mayoritas masyarakat kita di kota-kota besar. Entah upaya apa yang dapat dilakukan jika kita tidak mampu mencari solusi model pendidikan yang dapat diandalkan. Pendidikan yang bagaimanakah yang dapat merubah masyarakat kita yang saat ini jauh dari tertib dan disiplin secara efektif?
Penjas di masa depan seharusnya mampu diarahkan untuk memberi kontribusi positif kepada upaya pengubahan perilaku masyarakat kita secara bertahap tetapi pasti. Bagimanakah kurikulumnya harus dipersiapkan? Sederhana sebenarnya, tinggal mengembalikan Penjas kita pada salah satu model kurikulumnya yang paling mendasar, yaitu kepada model Pendidikan Gerak (Movement Education). Pendidikan gerak ini, dipercaya para ahli sebagai model yang mengelaborasi konsep gerak yang bermakna pada pengembangan kesadaran ruang (spatial awareness).
Pengembangan kesadaran tersebut dalam alur didaktik hampir identik dengan pendekatan Movement-Problem-Based Learning (MPBL) di bagian sebelumnya. Jika MPBL mengembangkan pemikiran kritis dalam kerangka penajaman kemampuan pengambilan keputusan dalam hubungannya dengan lingkungan, sedangkan pendidikan
gerak lebih berada dalam nuansa pengembangan kesadaran ruang yang disituasikan. Kesadaran tersebut didasarkan pada pemikiran Rudolp Laban tentang konsep gerak, yang melibatkan konsep tubuh, konsep ruang, konsep usaha, dan konsep keterhubungan.
Melalui kesadaran ruang ini manusia menyadari dirinya (ruang pribadi) dalam hubungannya dengan orang lain dan lingkungannya (ruang publik). Karenanya, anak yang memiliki kesadaran ruang selalu menghubungkan tindakannya dengan lingkungan sekitar. “Apa yang akan terjadi dalam lingkungan ketika aku berbuat begini atau begitu?”
Karena kesadaran ruang pulalah, kita mengetahui benar bahwa menghentikan kendaraan di sembarang tempat akan berpengaruh pada orang lain atau lalu-lintas pada umumnya. Tanpa kesadaran tersebut, dapat diyakini situasi jalan raya akan terganggu, dan sedikit banyak menimbulkan kemacetan. Dari sini dapat disimpulkan, bahwa semrawutnya lalu-lintas kota pada umumnya, adalah karena mayoritas masyarakat kita tidak memiliki kesadaran ruang itu. Dalam kearifan lokal Sunda, kesadaran ruang direpresentasikan dalam wejangan-wejangan seperti “ulah lalawora‟ (jangan sembarangan) atau “ari eureun montong dina hara-haraeun” (kalau berhenti jangan di tempat yang dapat menimbulkan masalah).
Dalam asumsi penulis, kesadaran ruang ini jelas-jelas menjadi dasar dari kesadaran diri, sehingga darinya dapat ditarik tumbuhnya “tepa-selira.” Artinya, jika Penjas mampu mengembangkan kesadaran ruang para anak didik, maka tidak diragukan bahwa melalui Penjas pulalah kita dapat menumbuhkan sifat-sifat jujur, disiplin, sadar lingkungan, serta empati pada orang lain.

Nilai Acuan dalam Pengembangan Kurikulum Penjas
Setiap upaya pengembangan kurikulum sudah tentu dilandasi oleh perspektif filosofis yang biasanya memuat asumsi-asumsi dasar tentang masyarakat, manusia, dan pendidikan. Dalam perspektif filosofis tersebut terkandung harapan, gagasan, nilai-nilai, serta kepercayaan masyarakat yang memberikan arah dan kerangka untuk merencanakan suatu kurikulum. Oleh para ahli, perspektif filosofi tersebut lebih sering disebut nilai acuan atau value orientation.
Dalam wilayah pendidikan jasmani, perspektif kurikulum yang selama ini berhasil diidentifikasi adalah: disciplinary mastery, self actualizalion perspective, social reconstruction perspective, learning process perspective, dan ecological integration perspective.
Penguasaan bidang studi atau disciplinary mastery menekankan penguasaan isi dari bidang studinya, sehingga prioritas ditekankan pada isi bidang studi. Karena itu penganut aliran ini percaya bahwa penguasaan isi bidang studi merupakan indikator keberhasilan suatu sekolah. Pendidikan jasmani kita nampaknya berorientasi pada perspektif ini, sehingga banyak guru yang tidak percaya bahwa Penjas mampu menumbuhkan nilai-nilai dan karakter positif selain sebagai menjadi pendadaran atlet dari anak-anak yang berbakat.
Dari perspektif aktualisasi diri (self actualization), kurikulum diarahkan kepada peserta didik dan pencapaian otonomi individu dan pengarahan diri. Siswa bertanggung jawab untuk menentukan sendiri arah tujuannya, mengembangkan keunikan pribadi, dan untuk memandu sendiri kegiatan belajarnya. Kurikulumnya disusun untuk menyediakan tantangan bagi setiap orang untuk melampaui limit kemampuan sebelumnya, untuk melintasi batas-batas pribadi agar tercapai persepsi baru mengenai diri. Pendidikan tidak lain merupakan sebuah proses yang memungkinkan dan menyediakan kesempatan bagi pembebasan dan pengembangan pribadi.
Perspektif rekonstruksi sosial (social reconstruction) menekankan prioritas tertinggi sumber kurikulum yaitu masyarakat yang memberikan arah bagi pendidikan generasi muda. Kebutuhan masyarakat mendahului kebutuhan individu. Karena itu, penganut aliran ini percaya bahwa sekolah bertanggung jawab untuk membentuk masa depan generasi muda yang lebih baik.
Kemudian perspektif proses belajar (learning process) menekankan pentingnya bagaimana keterjadian balajar itu berlangsung. Kurikulumnya dirancang untuk membina keterampilan siswa dalam memecahkan masalah, keterampilan untuk mengembangkan kemampuan kreatif, keterampilan menggunakan teknologi termasuk komputer, dan keterampilan kritis dalam merespons dan mengambil keputusan secara cepat. Proses pembangkitan pengetahuan dalam lingkup setiap bidang studi merupakan fokus kurikulum. Proses belajar keterampilan dalam pendidikan jasmani memasukkan proses perolehan/penguasaan keterampilan (persepsi, pemolaan, penghalusan, dan adaptasi) dan sekaligus proses gerak kreatif melalui pengembangan variasi, improvisasi, dan komposisi.
Sedangkan perspektif integrasi lingkungun (ekologis) melandaskan asumsinya bahwa setiap individu itu unik, mahluk holistik, dan secara berlanjut mengalami proses penyempurnaan sehingga terjalin keterpaduan secara utuh antara pribadi dan
lingkungannya, Pendekatan ini menekankan keseimbangan antara individu dan kepedulian masyarakat gobal.

Beberapa Contoh Kurikulum Masa Depan

a. Standar Internasional Pendidikan Jasmani Dan Olahraga Bagi Siswa Sekolah dari ICHPER.SD
International Council for Health, Physical Education, Recreation, Sport and Dance telah mencoba merumuskan standard untuk diadopsi oleh seluruh pemerintah dan kementerian pendidikan di seluruh dunia, agar tercapai standard mutu yang mendekati harapan, baik secara filosofis maupun dari sisi tuntutan global kesehatan dan pendidikan serta hak asasi manusia. Stndar-standar tersebut dikelompokkan ke dalam 7 standar yang meliputi aspek fisikal dan motorik, hingga kebermaknaan personal dan sosial. Ke-7 standard tersebut adalah sebagai berikut:
Standar 1 : Kompetensi Dan Kecakapan Gerak
Standar 2 : Pengetahuan Dan Penerapan Konsep-Konsep Gerak
Standar 3 : Kesehatan-Peningkatan Kebugaran
Standar 4: Gaya Hidup Aktif Secara Fisik
Standar 5: Perilaku Pribadi Dan Sosial
Standar 6: Memahami Dan Menghormati Perbedaan Individu
Standar 7: Kebermaknaan Personal Yang Diperoleh Dari Aktivitas Jasmani
(secara lengkap, detil standar dari setiap tahapannya disertakan dalam lampiran).
Bandingkan misalnya dengan standard isi kurikulum nasional (2006) yang secara sempit mengelaborasi terbatas pada aspek-aspek fisikal dan motorik siswa ditambah aspek kesehatan.

Ruang Lingkup Standar Isi (Kurikulum Nasional)
1. Permainan dan olahraga meliputi: olahraga tradisional, permainan. eksplorasi gerak, keterampilan lokomotor non-lokomotor,dan manipulatif, atletik, kasti, rounders, kippers, sepak bola, bola basket, bola voli, tenis meja, tenis lapangan, bulu tangkis, dan beladiri, serta aktivitas lainnya
2. Aktivitas pengembangan meliputi: mekanika sikap tubuh, komponen kebugaran jasmani, dan bentuk postur tubuh serta aktivitas lainnya
3. Aktivitas senam meliputi: ketangkasan sederhana, ketangkasan tanpa alat, ketangkasan dengan alat, dan senam lantai, serta aktivitas lainnya
4. Aktivitas ritmik meliputi: gerak bebas, senam pagi, SKJ, dan senam aerobic serta aktivitas lainnya
5. Aktivitas air meliputi: permainan di air, keselamatan air, keterampilan bergerak di
air, dan renang serta aktivitas lainnya
6. Pendidikan luar kelas, meliputi: piknik/karyawisata, pengenalan lingkungan, berkemah, menjelajah, dan mendaki gunung
7. Kesehatan, meliputi penanaman budaya hidup sehat dalam kehidupan sehari- hari, khususnya yang terkait dengan perawatan tubuh agar tetap sehat, merawat lingkungan yang sehat, memilih makanan dan minuman yang sehat, mencegah dan merawat cidera, mengatur waktu istirahat yang tepat dan berperan aktif dalam kegiatan P3K dan UKS. Aspek kesehatan merupakan aspek tersendiri, dan secara implisit masuk ke dalam semua aspek.

b. Kurikulum Kesehatan dan Penjas di Selandia Baru
Selandia Baru mungkin hanya sebuah negara kecil yang lebih sering tersisih oleh popularitas Australia sebagai tetangga dekatnya. Sebagai negara kecil tetapi maju, Selandia Baru memiliki contoh kurikulum yang unik, yang sudah dirumuskan sedemikian rupa dengan memasukkan unsur budaya dan kearifan lokal dari masyarakat asli (aborigin) sebagai salah satu konsep yang mendasari kurikulumnya.
Keunikan kurikulum Selandia Baru ini terlihat dari upayanya dalam menggabungkan antara Key Learning Areas dan Strand (Helai atau Untaian) serta the underlying concept-nya yang terjalin utuh.
Strand yang dipakai di sini adalah wilayah umum yang mendasari tujuan umum serta standard yang ditetapkan. Dalam kaitan ini, terdapat empat (4) strand yang ditonjolkan, dengan masing-masing strand tersebut dikelompokkan lagi ke dalam masing-masing achievement objectives, seperti berikut:

1. Personal Health and Physical Development

a. Personal growth and development
b. Regular physical activity
c. Safety and risk management
d. Personal identity and self-worth

2. Movement Concepts and Motor Skills

a. Movement skills
b. Positive attitudes and challenge
c. Science and technology
d. Social and cultural factors

3. Relationship with Other People

a. Relationship
b. Identity, sensitivity, and respect
c. Interpersonal skills

4. Helathy Community and Environment

a. Societal attitudes and beliefs
b. Community resources
c. Rights, responsibilities, and laws
d. People and the environment

Sedangkan Key Learning Areas yang dimanfaatkan untuk menumbuhkan tujuan dan standard di atas, dimanfaatkan materi-materi yang dikelompokkan sebagai berikut:
1. Mental Health
2. Sexuality Education,
3. Food and Nutrition
4. Body Care and Physical safety
5. Physical Activity
6. Sport Studies
7. Outdoor Education

c. Kurikulum Singapura
Tetangga terdekat kita, Singapura, termasuk memiliki kurikulum yang sangat maju, meskipun sangat simpel dan lugas. Coba bandingkan beberapa contoh di bawah ini:
EXPECTED LEARNING OUTCOMES
Key Stage/
Component By the end of Primary 2 By the end of Primary 4 By the end of Primary 6
Fundamental Movements
Perform a variety of:
�Locomotor and non-locomotor skills in a coordinated manner incorporating movement concepts.
�Fundamental movements using correct techniques.
Refine, extend and increase the complexity of locomotor, non-locomotor and manipulative skills.
-
Games
Perform a variety of fundamental movements using correct techniques.
Demonstrate skills acquired in various modified games.
Demonstrate an understanding of concepts and skills acquired in various modified games.

Dance
�Identify and use movement elements to perform a dance or dance sequence.
�Move through space in a rhythmic manner.

Perform two folk dances of various levels of difficulty to music from two different cultures.
�Perform the CEIMO-CEIMO dance and two other dances to music.
�Choreograph a simple dance sequence in collaboration with others.
Educational Gymnastics

Perform a simple individual sequence incorporating movement concepts and various forms of locomotion.
Perform an extended individual sequence with good form, and to rhythm, incorporating various gymnastic actions.
Refine and perform an extended sequence to rhythm, individually and/or with a partner, incorporating gymnastic actions and various forms of locomotion on small and large apparatus.
Health & Fitness Management
-
�Demonstrate an understanding of the benefits of physical well-being.
�Select appropriate physical activities and perform them safely in order to maintain a healthy lifestyle.
Demonstrate an understanding of the F.I.T.T8 principle and the principles to achieve health and fitness benefits.

Athletics
Acquire the knowledge and skills to perform fundamental athletic movements of throwing, jumping and running.

Swimming
By the end of Primary 6:
�Swim one recognised stroke.
�Demonstrate confidence in water without buoyancy aids.
�Understand pool and water safety.
Dari contoh di atas dapat disimpulkan bahwa kurikulum di Singapura tidak secara rinci memuat apa yang harus dipelajari, dan pada dasarnya menggunakan istilah yang relative sudah dikenal dalam pengelompokkan Key Learning Areas – nya, dan yang terpenting sudah secara eksplisit mengindikasikan model atau pendekatan yang dipakai, misalnya dengan menggunakan istilah „educational gymnastics‟ dan menyiratkan model „movement education‟ dengan memilih fundamental movements sebagai istilah yang membedakannya dengan jenis keterampilan gerak lain yang lebih tinggi tingkatnya.

Rekomendasi
Kurikulum Pendidikan Jasmani di masa depan selayaknya sudah mulai dirancang dengan memperhitungkan sebuah hasil ekstrapolasi tentang kondisi dan kebutuhan masyarakat di masa depan, agar mampu memainkan peranan yang strategis
dalam upaya merekonstruksi masyarakat Indonesia di masa depan. Kurikulum tersebut perlu memperhitungkan berbagai nilai acuan yang berlaku, serta tidak didominasi oleh nilai acuan yang tunggal. Model kurikulum yang berkembang pun perlu dimasukkan ke dalam substansi kurikulum, sehingga memicu guru untuk memilih dan menetapkan salah satu atau beberapa model yang tepat bagi kondisi lingkungan sekolah dan budaya serta keunikan masyarakat setempat. Kurikulum itupun hendaknya terbebas dari pengaruh paradigma lama yang mengungkung keberanian serta kesiapan untuk melakukan pembaharuan dalam bidang pendidikan secara umum.


Daftar Pustaka
Crum, Bart. (2003). To Teach Or Not To Teach. Paper. Presented on International Conference on Physical Education and Sport Science. Bandung, 2003.
Crum, Bart (2006). Substantial View of The Body. Paper. Presented on In-Service Training on Didactic of Sport Games. Bandung, 2006.
Dauer, Victor P. And Pangrazi, Robert P. (2003). Dynamic Physical Education For Elementary School Children. 12th Ed. New York: Macmillan Publishing Company.
Isworo, Brigitta. Menengok Penyebab Gempa. Artikel. Kompas (05/7-2006) Jakarta.
Jewet, A.E. (1994) Curriculum Theory and Research in Sport Pedagogy, dalam Sport Science Review. Sport Pedagogy. Vol. 3 (1), h. 11-18.
Jewett; Bain; dan Ennis, (1995), The Curriculum Process in Physical Education, Second Edition, Brown & Benchmark Publishers.
Kember, David. (2000). Action Learning and Action Research, Improving the Quality of Teaching and Learning. Stylus Publishing Inc. Sterling, VA.
Leksono, Ninok. Lupakah Kita Meramal Gempa? Artikel. Kompas (07/3-2007). Jakarta.
Light, Richard. (2000). Taking A Tactical Approach. Paper. http://www.theage.com.au.
Lutan, Rusli. (2005). Pendidikan Jasmani dan Olahraga Sekolah: Penguasaan Kompetensi Dalam Konteks Budaya Gerak. Makalah. Disampaikan pada Lokakarya Penyusunan Standar Kompetensi Guru Penjas. Cipayung. Direktorat Tenaga Kependidikan. Diknas. 2005.
Macdonald, D. (2000). Curriculum change and the postmodern world: The school curriculum-reform project an anachronism?
McCaughtry, Nate. (2004). The Emotional Dimension of a Teacher‟s Pedagogical Content Knowledge: Influences on Content, Curriculum, and Pedagogy. Journal of Teaching in Physical Education. Vol. 23. Number 1, January 2004.
Mahendra, Agus, dkk. (2006). Implementasi Movement-Problem-Based Learning Sebagai Pengembangan Paradigma Reflective Teaching Dalam Pendidikan
Jasmani: Sebuah Community-Based Action Research Di Sekolah Menengah Di Kota Bandung. Laporan Penelitian. UPI. Bandung.
Pusat Kesegaran jasmani Depdiknas tahun 2003. Survey Nasional Kebugaran Jasmani Siswa Sekolah Menengah. Depdiknas. Jakarta.
Schmuck, Richard A. (1997). Practical Action Research for Change. Sky Light Professional Development, IL.
Siedentop, D., (1991), Developing Teaching Skills in Physical Education, Mayfield Publishing Company.
Tsangaridou, Niki. (2005). Classroom Teacher‟s Reflections on Teaching Physical Education. Journal of Teaching in Physical Education. Vol. 24. Number 1, January 2005.
__________, ICHPER.SD International Standard of Physical Education and Sport, on Global Mission of The Physical Education and Sport, (2004).
__________, Curriculum Planning & Development Division Ministry of Education of Singapore: Physical Education Syllabus (Primary, Secondary, Pre-University) 2006
__________, Health and Physical Education in the New Zealand Curriculum. Ministry of Education of New Zealand. 1999.




Lampiran 1

STANDARD INTERNASIONAL PENDIDIKAN JASMANI DAN OLAHRAGA DARI ICHPER.SD

STANDAR 1 : KOMPETENSI DAN KECAKAPAN GERAK
Mendemonstrasikan beberapa kompetensi dan kecakapan gerak dalam bentuk gerakan.
Sasaran-Sasaran (benchmarks)
Kelas 3:
Siswa:
o Menampilkan keterampilan manipulatif (seperti: mengontrol obyek pada saat melempar, menangkap dan menendang)
o Menampilkan keterampilan gerak lokomotor (seperti: menjelajah dengan jalan kaki, berlari, skiping, dan sliding)
o Menampilkan keterampilan gerak non-lokomotor (seperti: penguluran, peregangan, menarik, menekan, dan berbelok)
o Menampilkan kombinasi gerak (seperti: gerak keterampilan dasar yang mengkombinasikan lari dan menendang, langkah, dan melempar)
Kelas 6 :
Siswa:
o Mendemonstrasikan modifikasi dan adaptasi gerak
o Mendemonstrasikan keterampilan khusus (seperti: passing, dribbling, shooting, serve) yang banyak terdapat pada aneka ragam aktivitas tertentu.
Kelas 9 :
Siswa:
o Mendemonstrasikan strategi yang penting untuk tujuan tertentu dalam berbagai tipe aktivitas yang berbeda (seperti: permainan, menyerang/bertahan, urutan-urutan tari, gaya-gaya renang).
o Mengkombinasikan berbagai strategi dalam permainan sederhana, modifikasi, dan urutan macam-macam bentuk gerakan (seperti olahraga dan dansa).
Kelas 12 :
Siswa:
o Menampilkan keterampilan-keterampilan, strategi-strategi, dan urutan aktivitas yang terstruktur (seperti permainan, dansa, dan olahraga).
o Menampilkan keterampilan dan strategi pada konteks media yang berbeda, (seperti di udara, di daratan dan di air).

STANDAR 2 : PENGETAHUAN DAN PENERAPAN KONSEP-KONSEP GERAK
Menerapkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip gerak dalam belajar dan pengembangan keterampilan gerak.
Sasaran-Sasaran
Kelas 3
Siswa:
o Mengidentifikasi gerak-gerak dasar
o Mendeskripsikan konsep-konsep gerak
o Mendeskripsikan gerak dasar menggunakan kosa kata yang benar
o Menerapkan konsep-konsep gerak untuk memodifikasi gerakan
Kelas 6:
Siswa:
o Mengidentifikasi unsur-unsur penting dari pola gerak dasar.
o Mengidentifikasi hubungan antara objek, pelaku, dan parameter/kondisi lain.
o Menggunakan umpan balik (internal dan eksternal) untuk meningkatkan penampilan.
o Menerapkan konsep-konsep gerak pada keterampilan tertentu.
o Mengaplikasikan unsur-unsur penting guna meningkatkan penampilan seseorang dalam keterampilan gerak tertentu
Kelas 9:
Siswa:
o Memberikan umpan balik untuk meningkatkan prestasi orang lain dengan menggunakan unsur-unsur penting.
o Menerapkan prinsip-prinsip biomekanika pada tugas dan kerja keseharian.
o Mengenal dan menerapkan prinsip-prinsip latihan untuk memperbaiki penampilan.
o Mengenal karakteristik penampilan berketerampilan tinggi.
o Menerangkan bagaimana faktor lingkungan mempengaruhi penampilan.
Kelas 12:
Siswa:
o Menerapkan secara mahir pengetahuan khusus bidang studi (seperti: biomekanika, fisiologi, belajar motorik) saat menganalisis penampilan diri sendiri maupun orang lain.
o Menerapkan prinsip-prinsip biomekanika dan fisiologi yang dihubungkan dengan pencegahan cedera.
o Menganalisis penampilan diri sendiri dan orang lain, serta membandingkannya dengan bagian-bagian penting dari gerakan tersebut untuk meningkatkan penampilan.
o Mengintegrasikan pengetahuan bidang kajian untuk mempelajari aktivitas dan keterampilan-keterampilan baru secara mandiri.
o Mengevaluasi sumber-sumber belajar secara terus-menerus.
o Mendeskripsikan bagaimana faktor-faktor fisik, emosi, dan kognitif mempengaruhi keberhasilan.
o Mengakses sumber-sumber belajar secara terus-menerus

STANDAR 3 : KESEHATAN-PENINGKATAN KEBUGARAN
Mencapai dan memelihara tingkat kebugaran jasmani yang mendukung kesehatan
Sasaran-Sasaran
Kelas 3
Siswa:
o Mempertahankan aktivitas jasmani dengan intensitas sedang sampai tinggi pada periode waktu yang pendek
o Mengidentifikasi tanda-tanda perubahan fisiologis ketika melakukan aktivitas jasmani (seperti: denyut jantung yang meningkat)
Kelas 6:
Siswa:
o Mengidentifikasi komponen-komponen kebugaran jasmani (seperti: jantung dan pernapasan, kelentukan, kekuatan dan daya tahan otot, dan komposisi tubuh)
o Mengidentifikasi aktivitas yang terkait dengan masing-masing komponen di atas
Kelas 9:
Siswa:
o Berpartisipasi aktif dalam aktivitas jasmani dari intensitas sedang sampai tinggi yang mampu meningkatkan status kebugaran
o Menghubungkan hasil tes kebugaran dengan status kesehatan dan kemampuan pribadi dalam melakukan berbagai aktivitas
o Melakukan tes kebugaran untuk memperoleh informasi yang akurat mengenai status kebugaran pribadi
o Menerapkan prinsip dasar latihan untuk meningkatkan kebugaran pribadi
Kelas 12
Siswa:
 Mengembangkan tujuan kebugaran berdasarkan karakteristik kebugarannya pribadi
 Menilai indikator fisiologis selama dan setelah melakukan latihan dan menghubungkan hasilnya dengan tujuan kebugaran
 Membuat dan menerapkan secara mandiri program kebugaran pribadi

STANDAR 4: GAYA HIDUP AKTIF SECARA FISIK
Menunjukkan gaya hidup aktif secara fisik
Sasaran-sasaran
Kelas 3
Siswa:
 Melibatkan diri dalam aktivitas fisik mulai intensitas sedang hingga tinggi
 Mengidentifikasi faktor-faktor kesenangan dan ketidaksenangan seseorang dalam melakukan aktivitas fisik
 Berpartisipasi secara sukarela dalam aktivitas fisik di luar jam pelajaran pendidikan jasmani
Kelas 6
Siswa:
 Mengidentifikasi minimal satu aktivitas jasmani pada setiap komponen kebugaran yang berkaitan dengan kesehatan
 Memilih dan berpartisipasi secara teratur dalam aktivitas fisik untuk meningkatkan keterampilan
 Mengidentifikasi manfaat kesehatan yang diperoleh dari keikutsertaan dalam aktivitas fisik secara teratur (contoh: merasa baik, mencegah sakit dan penyakit, mengurangi stress)
Kelas 9
Siswa:
 Mengidentifikasi intensitas aktivitas fisik sedang hingga tinggi yang memberikan kesenangan pribadi
 Mengidentifikasi berbagai peluang untuk berpartisipasi secara teratur dalam aktivitas fisik baik di sekolah maupun di masyarakat
 Menganalisis minat dan kemampuan pribadi yang berhubungan dengan kencenderungan gaya hidup sehat
 Menganalisis secara kritis berbagai karakteristik gaya hidup sehat
 Mengembangkan tujuan/target melakukan aktivitas fisik untuk dirinya sendiri
 Berpartisipasi setiap hari dalam beberapa bentuk aktivitas untuk dapat meraih kebugaran
Kelas 12
Siswa:
 Mengeksplorasi berbagai aktivitas fisik yang belum pernah dilakukan (baru) untuk menarik minat pribadi baik di dalam maupun di luar jam pelajaran pendidikan jasmani
 Membedakan berbagai bentuk aktivitas fisik sesuai dengan aneka sasaran/target kebugaran
 Memelihara gaya hidup aktif secara fisik dengan mengatasi hambatan untuk berpartisipasi teratur
 Mengidentifikasi bagaimana pola partisipasi dalam beraktivitas dapat membawa perubahan dalam kehidupan

STANDAR 5: PERILAKU PRIBADI DAN SOSIAL
Menunjukkan perilaku bertanggung jawab secara pribadi dan sosial dalam konteks aktivitas jasmani.
Sasaran-Sasaran
Kelas 3
Siswa:
 Menerapkan berbagai peraturan dan prosedur di dalam kelas
 Menampilkan praktek yang aman dalam aktivitas jasmani
 Saling berbagi ruang dan perlengkapan (prasarana-sarana) dengan siswa lain
Kelas 6
Siswa:
 Menerapkan konsep keselamatan dalam melakukan gerakan
 Kerja secara produktif dan independen sebagaimana halnya bekerjasama dengan rekan di dalam suatu kelompok kecil
 Mengenal konsep “fair play” dan sportivitas seperti konsep etik dan cita-cita Olympiade
 Bertanggung jawab atas perilaku pribadinya
 Merespon secara wajar dalam menerima kemenangan dan kekalahan
Kelas 9
Siswa:
 Menerapkan aturan tertentu yang telah ditetapkan dan menunjukkan etika
 Mengatasi konflik yang muncul pada saat melakukan aktivitas jasmani
 Menunjukkan “fair play” dan pengendalian diri secara memadai pada saat melakukan aktivitas jasmani
 Memilih aktivitas berdasarkan pertimbangan keselamatan dan bahaya yang mungkin terjadi baik bagi dirinya maupun orang lain
 Meraih tujuan kelompok dalam aktivitas kelompok dan kompetitif
 Memecahkan masalah melalui analisa sebab, akibat, dan kemungkinan solusinya
Kelas 12
Siswa:
 Memahami unsur “fair play”, kejujuran, etika, dan tekanan teman dalam wilayah perilaku pribadi
 Bertanggung jawab dan menolong sesama teman untuk bertanggung jawab pada saat melakukan aktivitas fisik
 Menerapkan konsep komersial untuk partisipasi pribadi dalam aktivitas fisik (misalnya: akses, biaya, dan keselamatan)
 Mengundang orang lain untuk berpartisipasi dalam aktivitas fisik sesuai dengan pilihannya
 Menunjukkan kerjasama dalam konteks aktivitas kompetitif
 Bekerjasama dalam menetapkan tujuan kelompok
 Memberi kontribusi secara bermakna untuk meraih tujuan kelompok

STANDAR 6: MEMAHAMI DAN MENGHORMATI PERBEDAAN INDIVIDU
Menunjukkan pamahaman dan hormat terhadap perbedaan individu di antara partisipan yang terlibat dalam aktivitas fisik
Sasaran-Sasaran
Kelas 3
Siswa:
 Membedakan perilaku hormat dan tidak hormat
 Menunjukkan perilaku yang penuh hormat dan hormat terhadap teman sekelas
Kelas 6
Siswa:
 Berinteraksi secara positif dengan semua teman kelasnya tanpa membedakan individu (seperti ras, jender, kemampuan, kecacatan, tradisi, kesukuan, dan agama)
 Mengeksplorasi kesadaran etnis/budayanya dan appresisasi melalui partisipasi dalam aktivitas fisik (misalnya: permainan dan tari dari kelompok budaya/etnis tertentu)
 Menyadari perbedaan dan persamaan di antara orang-orang yang memberi kontribusi terhadap aktivitas kooperatif dan kompetitif
Kelas 9
Siswa:
 Memahami pengaruh keunikan budaya, agama, etnik, serta nasional terhadap aktivitas jasmani (misalnya: bentuk latihan, permainan, olahraga)
 Merespon secara positif perbedaan individu (seperti: jenis kelamin, tradisi, agama, etnis, kemampuan, dan kecacatan)
Kelas 12
Siswa:
 Menganalisis peran olahraga, permainan, dan tari dalam kehidupan masyarakat. (Misalnya berdasarkan perspektif sejarah dan kekinian, olahraga tradisional/aktivitas asli suku tertentu atau masyarakat global seperti dalam Olimpik atau pada tingkat dunia lainnya)

STANDAR 7: KEBERMAKNAAN PERSONAL YANG DIPEROLEH DARI AKTIVITAS JASMANI
Memahami bahwa aktivitas jasmani memberi kesempatan untuk memperoleh kesenangan, tantangan, ekspresi diri, dan interaksi sosial
Sasaran-Sasaran
Kelas 3
Siswa
 Mengidentifikasi perasaan yang diperoleh dari aktivitas jasmani yang dilakukan
 Mengidentifikasi aktivitas jasmani yang menyenangkan
Kelas 6
Siswa
 Mendeskripsikan hubungan antara penguasaan keterampilan dan kesenangan
 Mencoba melakukan aktivitas yang belum pernah dilakukan (baru)
 Mendeskripsikan perasaan seseorang ketika mengalami kegagalan, keberhasilan, dan mendapat tantangan dalam aktivitas jasmani
Kelas 9
Siswa
 Memilih aktivitas jasmani yang dapat memenuhi kebutuhan pribadinya
 Mengajak orang lain untuk berpartisipasi dalam aktivitas jasmani sesuai dengan pilihannya
Kelas 12
Siswa
 Menentukan karakteristik aktivitas jasmani yang secara pribadi menyenangkan, menantang, dan sesuai dengan kebutuhannya (misalnya: aktivitas yang bersifat kompetitif, resiko tinggi, individual, interaktif, estetis, relaks, meningkatkan self-esteem, dan pengisi waktu senggang)
 Memahami gerak manusia sebagai media untuk ekspresi diri (misalnya: gerak kreatif, body language, ekspresi cita-cita Olimpiade)

IMPLEMENTASI
Disadari bahwa kualitas pengajaran dan program pendidikan jasmani bergantung atas keberadaan beberapa komponen yang bekerja secara simultan. Standar ini menyediakan suatu landasan yang mendefinisikan muatan esensial untuk dipelajari oleh siswa, tetapi harus diorganisasikan dalam konteks struktur kurikulum sekolah. Dengan demikian, setiap lembaga sekolah perlu menulis kurikulum sesuai dengan kebutuhan khususnya. Muatan kurikulum, oleh karenanya, merupakan salah satu komponen dari lima komponen, yaitu:
Muatan Kurikulum merefleksikan kemampuan belajar secara bertahap
 Tingkat sekolah dasar menekankan pada keterampilan motorik dasar dalam konteks permainan sederhana yang tepat
 Tingkat menengah pertama menekankan pada konsep kebugaran komponen kesehatan, yaitu menetapkan dan mencapai tujuan pribadi untuk tingkat kebugaran yang sehat, memodifikasi dan mengenalkan versi permainan yang diketahui secara budaya dan internasional
 Tingkat menengah atas menekankan pada pengembangan kompetensi yang dipilih siswa, termasuk keterampilan mengikuti program luar sekolah yang tersedia dalam masyarakat, yang berpotensi untuk melibatkan diri dan berpartisipasi sepanjang hayat.
Pengajaran secara individual untuk belajar tuntas
 Gaya/strategi mengajar majemuk untuk mengakomodasi kecerdasan majemuk, gaya belajar, kemampuan, dan ketidakmampuan.
 Penilaian sistematis dan reguler yang menghasilkan informasi untuk resep belajar berikutnya
 Dokumentasi dan artikulasi prestasi siswa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar