Fisiologis
terjadinya Kram , Radang dan Nyeri
Secara fisiologis
yang dijelaskan di dalam buku Kesehatan Olahraga karya Gabe Mirkin M.D. dan Marshall Hoffman (1984 : 51) terjadinya kejang otot atau kram disebabakan
karena :
- Kurangnya
aliran darah ke otot yang disebabkan adanya penumpukan asam laktat pada
aliran darah akibat metabolisme tubuh yang kurang sempurna. Asam laktat
terbentuk karena didalam otot terjadi pembakaran glikogen yang dipecahkan
menjadi suatu zat kimia yang berupa piruvat. Jika tersedia cukup oksigen,
piruvat akan diubah menjadi hasil akhir karbon dioksida dan air,yang
dikeluarkan melalui paru-paru. Tetapi jika di otot tidak tersedia cukup
oksigen, piruvat diubah menjadi asam laktatyang di timbun di dalam otot
dan kemudian masuk ke aliran darah.
Asam laktat mengganggu kontraksi otot makin lama makin sulit. Sehingga
akibatnya muncul rasa lelah. Kadar asam laktat yang tinggi akhirnya akan
menghentikan kontraksi otot sama sekali. Dan terjadilah kejang otot yang
terasa nyeri.
- Kondisi
udara yang dingin menyebabkan mekanisme pemanasan tubuh yang terganggu
sehingga sekali lagi mengganggu aliran darah dalam tubuh
- Kram dapat
disebabkan kelelahan, dehidrasi atau kekurangan cairan dan elektrolit, terutama
Kalium dan Natrium
- Bisa juga
akibat trauma yang dialami oleh tulang atau otot
- Kekurangan
Magnesium maupun Kalsium
- Kekurangan
Vit. B1, B5 dan B6.
- Beberapa
obat, seperti obat pelancar kemih dan penurun/peluruh lemak juga bisa
menyebabkan kram.
- Para
penderita Hiperkolesterol dan Diabetes. Hal ini disebabkan sirkulasi darah
ke otot yang kurang baik karena tingginya kolesterol dalam darah atau
pembuluh darah yang mudah rusak
- Pada
Ibu Hamil, kram dapat berhubungan dengan berat badan yang berlebih
sehingga serabut syaraf pada kaki tertekan.
Radang
Menurut Kamus Kedokteran
Dorland:
Radang ialah respon protektif
setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi
menghancurkan, mengurangi, atau mengurung baik agen pencedera maupun jaringan
yang cedera itu
Menurut Katzung (2002):
Radang ialah suatu proses yang
dinamis dari jaringan hidup atau sel terhadap suatu rangsang atau injury
(jejas) yang dilakukan terutama oleh pembuluh darah (vaskuler) dan jaringan
ikat (connective tissue).
Secara garis besar, peradangan ditandai dengan
vasodilatasi pembuluh darah lokal yang mengakibatkan terjadinya aliran darah
setempat yang berlebihan, kenaikan permeabilitas kapiler disertai dengan
kebocoran cairan dalam jumlah besar ke dalam ruang interstisial, pembekuan
cairan dalam ruang interstisial yang disebabkan oleh fibrinogen dan protein
lainnya yang bocor dari kapiler dalam jumlah berlebihan, migrasi sejumlah besar
granulosit dan monosit ke dalam jaringan, dan pembengkakan sel jaringan.
Beberapa produk jaringan yang menimbulkan reaksi ini adalah histamin,
bradikinin, serotonin, prostaglandin, beberapa macam produk reaksi sistem
komplemen, produk reaksi sistem pembekuan darah, dan berbagai substansi
hormonal yang disebut limfokin yang dilepaskan oleh sel T yang tersensitisasi
(Guyton & Hall, 1997)
Tanda-tanda radang mencakup rubor (kemerahan), kalor
(panas), dolor (rasa sakit), dan tumor (pembengkakan). Tanda
pokok yang kelima ditambahkan pada abad terakhir yaitu functio laesa
(perubahan fungsi) (Abrams, 1995; Rukmono, 1973; Mitchell & Cotran, 2003).
Umumnya, rubor atau kemerahan merupakan hal pertama yang
terlihat di daerah yang mengalami peradangan. Saat reaksi peradangan timbul,
terjadi pelebaran arteriola yang mensuplai darah ke daerah peradangan. Sehingga
lebih banyak darah mengalir ke mikrosirkulasi lokal dan kapiler meregang dengan
cepat terisi penuh dengan darah. Keadaan ini disebut hiperemia atau kongesti,
menyebabkan warna merah lokal karena peradangan akut (Abrams, 1995; Rukmono,
1973).
Kalor terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi
peradangan akut. Kalor disebabkan pula oleh sirkulasi darah yang meningkat.
Sebab darah yang memiliki suhu 37oC disalurkan ke permukaan tubuh
yang mengalami radang lebih banyak daripada ke daerah normal (Abrams, 1995;
Rukmono, 1973).
Perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion
tertentu dapat merangsang ujung-ujung saraf. Pengeluaran zat seperti histamin
atau zat bioaktif lainnya dapat merangsang saraf. Rasa sakit disebabkan pula
oleh tekanan yang meninggi akibat pembengkakan jaringan yang meradang (Abrams,
1995; Rukmono, 1973).
Pembengkakan sebagian disebabkan hiperemi dan sebagian
besar ditimbulkan oleh pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke
jaringan-jaringan interstitial. Campuran dari cairan dan sel yang tertimbun di
daerah peradangan disebut eksudat meradang (Abrams, 1995; Rukmono, 1973).
Berdasarkan asal katanya, functio laesa adalah fungsi
yang hilang (Dorland, 2002). Functio laesa merupakan reaksi peradangan yang
telah dikenal. Akan tetapi belum diketahui secara mendalam mekanisme
terganggunya fungsi jaringan yang meradang (Abrams, 1995)
Pengertian nyeri
Nyeri didefinisikan sebagai
suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila
seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).
Menurut International Association
for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang
tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun
potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan
Fisiologi nyeri
Reseptor nyeri adalah organ
tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan
sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon
hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri
disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor)
ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.
Berdasarkan letaknya, nosireseptor
dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus),
somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya
yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.
Nosireceptor kutaneus berasal
dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah
untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus)
terbagi dalam dua komponen yaitu :
a. Reseptor A delta
Merupakan serabut komponen cepat
(kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang
akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan
b. Serabut C
Merupakan serabut komponen
lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih
dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi
Struktur reseptor nyeri somatik
dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah,
syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya
komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.
Reseptor nyeri jenis ketiga
adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ viseral seperti
jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini
biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif
terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.
Teori Pengontrolan nyeri (Gate
control theory)
Terdapat berbagai teori yang
berusaha menggambarkan bagaimana nosireseptor dapat menghasilkan
rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba menjelaskan
bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri dianggap paling
relevan (Tamsuri, 2007)
Teori gate control dari
Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau
dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini
mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan
impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan
tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri.
Suatu keseimbangan aktivitas
dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari otak mengatur proses
pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi C melepaskan substansi P
untuk mentranmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoreseptor,
neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan neurotransmiter
penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan
menutup mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat
saat seorang perawat menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan yang
dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang
dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C, maka akan membuka
pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika impuls
nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak yang
memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti endorfin
dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromedulator
ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P.
tehnik distraksi, konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk
melepaskan endorfin (Potter, 2005)
Respon Psikologis
respon psikologis sangat
berkaitan dengan pemahaman klien terhadap nyeri yang terjadi atau arti nyeri
bagi klien.
Arti nyeri bagi setiap individu
berbeda-beda antara lain :
1) Bahaya atau merusak
2) Komplikasi seperti infeksi
3) Penyakit yang berulang
4) Penyakit baru
5) Penyakit yang fatal
6) Peningkatan ketidakmampuan
7) Kehilangan mobilitas
8) Menjadi tua
9) Sembuh
10) Perlu untuk penyembuhan
11) Hukuman untuk berdosa
12) Tantangan
13) Penghargaan terhadap
penderitaan orang lain
14) Sesuatu yang harus
ditoleransi
15) Bebas dari tanggung jawab
yang tidak dikehendaki
Pemahaman dan pemberian arti
nyeri sangat dipengaruhi tingkat pengetahuan, persepsi, pengalaman masa lalu
dan juga faktor sosial budaya
Respon fisiologis terhadap
nyeri
1) Stimulasi Simpatik:(nyeri
ringan, moderat, dan superficial)
a) Dilatasi saluran bronkhial
dan peningkatan respirasi rate
b) Peningkatan heart rate
c) Vasokonstriksi perifer,
peningkatan BP
d) Peningkatan nilai gula darah
e) Diaphoresis
f) Peningkatan kekuatan otot
g) Dilatasi pupil
h) Penurunan motilitas GI
2) Stimulus Parasimpatik
(nyeri berat dan dalam)
a) Muka pucat
b) Otot mengeras
c) Penurunan HR dan BP
d) Nafas cepat dan irreguler
e) Nausea dan vomitus
f) Kelelahan dan keletihan
Respon tingkah laku terhadap
nyeri
1) Respon perilaku terhadap
nyeri dapat mencakup:
2) Pernyataan verbal (Mengaduh,
Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur)
3) Ekspresi wajah (Meringis,
Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)
4) Gerakan tubuh (Gelisah,
Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan gerakan jari & tangan
5) Kontak dengan orang
lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan, Menghindari kontak sosial,
Penurunan rentang perhatian, Fokus pd aktivitas menghilangkan nyeri)
Individu yang mengalami nyeri
dengan awitan mendadak dapat bereaksi sangat berbeda terhadap nyeri yang
berlangsung selama beberapa menit atau menjadi kronis. Nyeri dapat menyebabkan
keletihan dan membuat individu terlalu letih untuk merintih atau menangis.
Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat. Pasien dapat tampak rileks dan
terlibat dalam aktivitas karena menjadi mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap
nyeri.
Meinhart & McCaffery
mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:
1) Fase antisipasi (terjadi
sebelum nyeri diterima)
Fase ini mungkin bukan merupakan
fase yg paling penting, karena fase ini bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada
fase ini memungkinkan seseorang belajar tentang nyeri dan upaya untuk
menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat penting,
terutama dalam memberikan informasi pada klien.
2) Fase sensasi (terjadi saat
nyeri terasa)
Fase ini terjadi ketika klien
merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat subyektif, maka tiap orang dalam
menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleraransi terhadap nyeri juga akan berbeda
antara satu orang dengan orang lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi
tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil,
sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa
nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi
terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang
toleransi terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum
nyeri datang.
Keberadaan enkefalin dan
endorfin membantu menjelaskan bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat
nyeri dari stimulus yang sama. Kadar endorfin berbeda tiap individu, individu
dengan endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri dan individu dengan sedikit
endorfin merasakan nyeri lebih besar.
Klien bisa mengungkapkan
nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari ekspresi wajah, vokalisasi dan
gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan klien itulah yang digunakan perawat
untuk mengenali pola perilaku yang menunjukkan nyeri. Perawat harus melakukan
pengkajian secara teliti apabila klien sedikit mengekspresikan nyerinya, karena
belum tentu orang yang tidak mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri.
Kasus-kasus seperti itu tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk membantu
klien mengkomunikasikan nyeri secara efektif.
3) Fase akibat (terjadi ketika
nyeri berkurang atau berhenti)
Fase ini terjadi saat nyeri
sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien masih membutuhkan kontrol dari
perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga dimungkinkan klien mengalami
gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien mengalami episode nyeri berulang, maka
respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat.
Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa
takut akan kemungkinan nyeri berulang.
Faktor yang mempengaruhi
respon nyeri
1) Usia
Anak belum bisa mengungkapkan
nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang
dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan
fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka
mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut
kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.
2) Jenis kelamin
Gill (1990) mengungkapkan
laki-laki dan wnita tidak berbeda secara signifikan dalam merespon nyeri,
justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex: tidak pantas kalo laki-laki
mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).
3) Kultur
Orang belajar dari budayanya,
bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu
daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima
karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.
4) Makna nyeri
Berhubungan dengan bagaimana
pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan bagaimana mengatasinya.
5) Perhatian
Tingkat seorang klien
memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut
Gill (1990), perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat,
sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik
relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.
6) Ansietas
Cemas meningkatkan persepsi
terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas.
7) Pengalaman masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil
mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia
akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri
tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.
8) Pola koping
Pola koping adaptif akan
mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya pola koping yang
maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri.
9) Support keluarga dan sosial
Individu yang mengalami nyeri
seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh
dukungan dan perlindungan
Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran
tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas
nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas
yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang
yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin
adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun,
pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang
nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).
Menurut smeltzer, S.C bare B.G
(2002) adalah sebagai berikut :
1)skala intensitas nyeri deskritif

2) Skala identitas nyeri
numerik

3) Skala analog visual

4) Skala nyeri menurut
bourbanis

Keterangan :
0 :Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan : secara
obyektif klien dapat berkomunikasi
dengan baik.
4-6 : Nyeri sedang : Secara
obyektif klien mendesis,
menyeringai, dapat menunjukkan
lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.
7-9 : Nyeri berat : secara
obyektif klien terkadang tidak dapat
mengikuti perintah tapi masih
respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat
mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan
distraksi
10 : Nyeri sangat berat : Pasien
sudah tidak mampu lagi
berkomunikasi, memukul.
Karakteristik paling subyektif
pada nyeri adlah tingkat keparahan atau intensitas nyeri tersebut. Klien
seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan, sedang atau
parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien. Dari
waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan.
Skala deskritif merupakan alat
pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih obyektif. Skala pendeskripsi
verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang
terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang
sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri”
sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien skala tersebut
dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri trbaru yang ia rasakan.
Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan
seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan
klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri. Skala penilaian
numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti
alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan
skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri
sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk
menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992).
Skala analog visual (Visual
analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus,
yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada
setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi
keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih
sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari
pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (Potter, 2005).
Skala nyeri harus dirancang
sehingga skala tersebut mudah digunakan dan tidak mengkomsumsi banyak waktu
saat klien melengkapinya. Apabila klien dapat membaca dan memahami skala, maka
deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat bukan saja dalam
upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi
klien. Perawat dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih
memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan
(Potter, 2005).
Sumber Referensi
Priharjo, R (1993). Perawatan
Nyeri, pemenuhan aktivitas istirahat. Jakarta : EGC hal : 87.
Shone, N. (1995). Berhasil
Mengatasi Nyeri. Jakarta : Arcan. Hlm : 76-80
Ramali. A. (2000). Kamus
Kedokteran : Arti dan Keterangan Istilah. Jakarta : Djambatan.
Syaifuddin. (1997). Anatomi
fisiologi untuk siswa perawat.edisi-2. Jakarta : EGC. Hlm : 123-136.
Tamsuri, A. (2007). Konsep
dan penatalaksanaan nyeri. Jakarta : EGC. Hlm 1-63
Potter. (2005). Fundamental
Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik. Jakarta: EGC. Hlm 1502-153
http://qittun.blogspot.com/2008/10/konsep-dasar-nyeri.html
Gabe Mirkin, M.D. dan Marshall
Hoffman. 1984. Kesehatan Olahraga.
PT. Grafidian Jaya. Jakarta.
Dorland, W.A.N. (2002). Kamus Kedokteran
Dorland (Setiawan, A., Banni, A.P., Widjaja, A.C., Adji, A.S., Soegiarto,
B., Kurniawan, D., dkk , penerjemah). Jakarta: EGC. (Buku asli diterbitkan
2000).
Rukmono (1973). Kumpulan kuliah patologi.
Jakarta: Bagian patologi anatomik FK UI.
Guyton, A.C. & Hall, J.E. (1997). Buku
ajar fisiologi kedokteran (9th ed.) (Setiawan, I., Tengadi,
K.A., Santoso, A., penerjemah). Jakarta: EGC (Buku asli diterbitkan 1996).
Abrams, G.D. (1995). Respon tubuh terhadap
cedera. Dalam S. A. Price & L. M. Wilson, Patofisiologi: Konsep klinis
proses-proses penyakit (4th ed.)(pp.35-61)(Anugerah, P.,
penerjemah). Jakarta: EGC (Buku asli diterbitkan 1992).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar